jenny on DAB free music magazine vol 10

dab
Setelah kurang lebih enam tahun lompat dari panggung ke panggung, Jenny akhirnya merilis LP pertama mereka. Sebuah perjalanan dan penantian panjang ini menghasilkan sebuah “Manifesto”. Tidak hanya menjadi pembuktian namun lebih dari itu, “Manifesto” menjadi sebuah pernyataan sikap dari Jenny. Berikut sedikit percakapan DAB dengan Jenny mengenai LP perdana mereka, perjalanan panjang mereka, hingga pernyataan sikap mereka dalam “Manifesto”.

Ceritain sedikit dong tentang perjalanan Jenny..
Farid: Perjalanan berarti semacam kronologis gitu ya…awal mulanya dari kampus ISI Seni Rupa, rentang waktunya tengah ampe akhir 2003. Saya, Robi, beberapa adik kelas termasuk Arjuna cari-cari orang untuk bikin band buat ngisi malam keakraban tahun 2003. Terbentuk dengan nama Jenny bla-bla-bla tapi kebawa kesininya kita makenya nama Jenny.

Salah satu single kalian yang berjudul “Mati Muda” itu kalo ga salah pernah ada filmnya yang di-launching di Kinoki ya…bisa diceritain gimana akhirnya single itu bisa jadi sebuah film?
Robi: Jadi kasusnya ada kawan dari komunitas film yang tertarik membuat film bedasarkan lagu “Mati Muda”.
Farid: Jadi sebenernya trigger-nya itu anak-anak SMA yang mengapresiasi lagu itu, kebetulan dilihat sama temen kami. Dan hal ini menarik untuk diangkat menjadi sebuah film, ketertarikan itu disampaiin ke kami, gimana kalo kita bikin film berdasarkan lagu “Mati Muda”, yang akan dibuat oleh anak-anak SMA tersebut. Akhirnya kami ngobrol-ngobrol dan kemudian jadilah sebuah film yang berjudul “Aku Pernah Mati”. Kami sendiri benar-benar lepas dari proses kreatif mereka, lagu ini kami lepas dan silahkan untuk dikonsep. Sedangkan lagu “Mati Muda” ini juga dipake untuk film Radit dan Jani, yang berawal dari kebetulan. Teman kami ada yang membawa MP3 “Mati Muda” di flashdisk-nya dan kemudian didengar oleh teman-teman yang sedang berproses di film Radit dan Jani. Kemudian dibawa ke board yang lebih tinggi dan lagu ini masuk.

Antara rentang kemunculan “Mati Muda” tahun 2005 dan LP pertama kalian “Manifesto” yang baru rilis 2009 ini terbilang cukup lama, ada kendala atau pertimbangan tertentu?

Farid: Kalo rilisnya 12 Maret 2009 mungkin ya karena harus rilis tanggal tersebut klo kita pikir. Soalnya album ini kita buat tidak dalam rencana konsep yang tertulis dari awal yang seperti ini atau itu tapi lebih ke kita mengalami prosesnya dulu sampai selesai. Setelah kita rasa cukup prosesnya kita rilis album ini. Jadi memang bukan dalam suatu masterplan kita targetnya tahun ini atau tahun depan harus rilis tapi ternyata kami bisa rilisnya setelah 6 tahun. Sebenernya cukup klise, tadinya tahun 2008 kita maunya rilis tapi tenyata itu ga bisa.

Apa Jenny merasa harus ada proses pematangan diatas panggung sebelum akhirnya bisa dirilis? mengingat saat ini proses recording terbilang lebih “bersahabat” dibanding jaman dulu.
Robi: Kalo menurut kami memang secara tidak sengaja awal-awal kami lebih sering di panggung, tapi bukan karena itu juga. Kami lebih merasa bahwa kami kesulitan memilih lagu-lagu yang akan masuk di album ini. Kebetulan kami bukan orang-orang yang kesehariannya bergelut di dunia musik, dan kami memproses ini seperti membuat sesuatu yang sangat spesial padahal ini kan pilihan aja. Ada 20-an lagu yang harus kita pilih dan matengin sampai ga ada yang bisa kami matengin lagi.
Farid: Kalo di panggung, faktanya materi yang ada di LP ini pernah dimainin di panggung. Emang dari awal segala sesuatunya band ini tidak dalam rencana besar. Bukan dalam suatu masterplan harus seperti apa, sampe hal-hal yang detih seperti harus gede di panggung dulu atau apa. Tapi kenyataannya yang kami dapat dan kami syukuri sekarang adalah kami diasuh oleh panggung-panggung yang kami naiki. Satu panggung demi panggung kami alami sebagai sebuah proses. Lagu-lagu ini dilaunchingnya justru di panggung-panggung tersebut. Lagu yang ada di LP ini adalah lagu yang dibikin 2002 sampai 2009 tapi semuanya sudah pernah kami mainkan. Kita lihat responnya seperti apa. Kalo jelek kami tinggalin, kalo bagus kami hajar terus.
Robi: Ada hubungannya juga kenapa begitu lama karena muncul ini dan itu di beberapa part lagu itu. Kami mencoba bereksperimen walaupun tidak menakjubkan. Terkadang kami memilih eksperimen itu kami bawa ke panggung.
Farid: Iya, jadi lagunya prosesnya juga berlangsung di panggung. Dan kami bisa melihat antara perubahan yang kami buat dengan respon dari penonton. Secara materi seperti itu.
Robi: Ketika kami menambahkan suatu detil kemusikan sering kita uji coba di panggung. Seperti “Mati Muda” awalnya plain aja tapi kami tambahkan sesuatu yang berbeda.

Dengan perubahan-perubahan dengan eksperimen yang kalian lakukan apa tidak ada ketakutan kalo musik kalian akan bergeser secara cepat antara musik kalian yang sekarang dengan yang berikutnya? kalian sendiri melihat musik Jenny seperti apa?
Farid: Nah itu dia, yang kita dapet dari panggung itunya. Mungkin kalo kami merilis album dengan konsep yang bulat mungkin kami akan salah merumuskan musik kami. Dulu kami sempat yakin bahwa musik kami disemangati unsur punk, dance dan garage. Itu kami lihat di “Dance Song”. Tapi kesininya apa-apa yang kami amini dari awal semakin ada isinya tapi ada hal-hal yang berbeda dari yang awal kami mainkan. Akhirnya kami melebur kembali apa yang kami yakini sebelumnya, kami konstruksi lagi, hancurkan lagi dan dibangun lagi tapi masih dalam satu konsep besar musik yang kami namakan musik yang dimainkan Jenny itu. Antara sepuluh lagu ini akan dirasakan lagu-lagu tertentu akan mengarah kesini sedangkan yang lainnya ke arah yang lainnya, seperti itu.

Secara keselurahan apa yang ingin kalian bicarakan di LP kalian “Manifesto” ini?
Farid: Di awal munculnya “Mati Muda”, kami sempat dikorelasikan dengan salah satu lagu milik The Strokes. Segala kebetulan ini terbaca di masyarakat, tapi kami tidak berhenti disitu. Kami belajar banyak. Dan akhirnyan kami mendapatkan sebuah narai dalam lagu “Manifesto Postmodernisme”. Disitu ada sebuah ungkapan bahwa kita hidup di suatu era tidak ada lagi kebaruan, kita menghidupi hidup kita dengan hanya mengambil apa yang ada di sekeliling kita dan merangkainya kembali dengan kemampuan kita, dengan insting kita, dengan suatu apapun kita yang ingin kita bentuk. Secara konsep akhirnya “Manifesto Postmodernisme” yang membungkus semuanya, membungkus apa-apa yang telah kami lakukan. Bukan sebagai pembenaran tapi sebagai penguatan saja. Sedangkan Manifesto sendiri sebagai pernyataan sikap. Inilah enam tahun berjalannya band, manifestonya album ini. Dan ini utang selama ngeband.
Robi: Klo isi dari sepuluh lagu di LP ini lebih banyak berbicara hal remeh-temeh kehidupan saja. Mungkin remeh-temeh untuk orang lain tapi spesial untuk kami. Tapi secara penulisan meskipun remeh-temeh pemaknaannya tidak dangkal, dimana lirik bisa bercerita dengan cukup indah. Tapi sebenernya itu Cuma remeh-temeh saja,hahaha.

Membicarakan LP kalian belum lengkap rasanya kalo belum menyentuh sisi artwork-nya. Kalo artworknya sendiri terlihat cukup berbeda, bisa diceritain sedikit tentang artworknya?
Farid: Itu kebetulan yang bikin saya. Sebenernya tujuan dari artworknya menjauhkan band dari image-image band seperti kami kebanyakan. Jadi saya coba bikin yang menjauhkan dari image-image tipikal band-band seperti kami. Biarkan ini menjadi ikon buat kami.
Robi: Kami mencoba menghancurkan image Jenny dengan ikon itu, hahaha..
Farid: Ternyata sempet denger juga beberapa pendapat dari yang ngeliat ini…bahkan ada yang bertanya apa ini konsepnya hipnotising gitu ya, hahaha…Mungkin…

Dari perjalanan 6 tahun ini, bagaimana kalian melihat scene musik Jogja sendiri?
Farid: Tidak dipungkiri bahwa banyak sekali band Jogja yang keren dan berkualitas. Bahkan terlalu banyak menurut saya. Tapi menurut saya belum banyak yang bisa menjadi penanda besar. Dulu ada eranya Bangkutaman, lalu The Monophones juga hampir menjadi penanda besar. Akhirnya sekarang terbilang sedikit yang bisa menjadi penanda besar dan kurang bisa mewakili ke-Jogjaan-nya. Menurut saya.
Robi: Mungkin wadahnya terbilang kurang, banyak band-band baru yang ingin bermain di panggung tapi terkesan tidak diberi ruang oleh beberapa penyelenggara. Tapi akhir-akhir ini justru club-club mulai membuka diri untuk band-band cutting edge.

Ok, terimakasih banget buat interviewnya. Ada pesen khusus buat pembaca DAB?
Farid: Mungkin kalo sebagai band ya “Manifesto” ini pernyataan kami..
Robi: Dan hindari narkoba tentunya, hahaha….Tetap maju musik Indonesia, hahaha….

No comments:

Post a Comment