jenny on PLAYBOOK 2nd edition
Seperti layaknya mengobrol dengan mbak-mbak kebanyakan, obrolan Playbook dengan mbak Jenny malam itu menyerempet ke urusan mbribak-mbribik. Untungnya kita nggak keterusan ngomongin begituan, soalnya mbak Jenny emang bukan sembarang mbak-mbak, mbak kita yang satu ini ternyata brengosen dan rock and roll abis. Mbak Jenny gitu loh...
Eh, ngelantur ya? Sori,sori.. soalnya wawancara Playbook dengan Jenny waktu itu juga penuh dengan lanturan dan gojek kere sih. Kita aja sampe bingung mau mulai wawancara darimana gara-gara keakehan gojek. Yah, meskipun sebenarnya personil Jenny yang hadir hanya Farid (vokal) dan Roby (gitar) tanpa Anis (drum) dan Simbah (bass), tapi wawancara Playbook dengan Jenny berlangsung sip dan hore. Bahkan kita kewalahan karena mereka banyak omong kayak mbak-mbak (becanda, bro...hehehe).
Band yang tergolong cukup lama memeriahkan kancah musik Jogja ini mungkin sudah kamu kenal lewat pensi-pensi dan berbagai gig indie. Perlahan tapi pasti, dalam rentang enam tahun yang mereka lalui dari pentas ke pentas, Jenny membuktikan kesolidan mereka dalam bermusik. Buah kerja keras mereka adalah 'Manifesto', album pertama yang merekam perjalanan Jenny, tidak hanya secara musikalitas sebagai sebuah band, tapi juga sebagai individu yang bergelut dengan laju kehidupan di era posmoderen dalam wilayah kesadaran tertentu.
Berikut petikan wawancara kami..
Selama enam tahun ngeband, kok baru sekarang ngeluarin album? Kenapa lama sekali?
Farid: Kita nggak bisa lebih cepat, tapi mungkin juga nggak bisa ditunda lagi. Ini kemudian jadi waktu yang optimal buat kami. Optimalnya itu karena, satu, kita berani bilang, kita ngeband itu bener-bener indie. Kita pernah ngerasain yang namanya 'berburu dan meramu' sampai kita bisa seperti sekarang ini. Mulai dari ngeband nggak dibayar, trus dibayar bir, dibayar lima puluh ribu seratus ribu, itu bener-bener yang dikumpulin sampai akhirnya kita punya plot untuk recording. Berarti kan emang butuh proses yang cukup lama. Kita nggak pernah disokong oleh korporasi apapun, justru kitalah yang menghidupi band. Sampe sekarangpun band ini nggak pernah menghidupi personelnya, paling mentok anak-anak make uang Jenny buat makan, logistik. Dari segi konsep, band dan album ini tidak pernah kami rencanakan untuk jadi seperti ini atau itu. Kita nge-band, what you see is what you get, kita olah terus, berproses... sampe akhirnya kita bisa punya lagu sendiri di tahun kedua.
Lagu pertama Jenny sendiri apa?
Farid: Yang pertama Dance Song, dan kemudian itu selalu jadi lagu yang terakhir kalo di panggung. Dulu kalo ditanyain, Jenny musiknya seperti apa, jawabnya kayak Dance Song.
Roby: Hampir enam tahun ya... enam tahun itu bukan karena menunggu atau kita proses rekaman, lagu itu kadang tercipta dalam jangka waktu yang panjang banget.
Farid: Soalnya kita nyari proses membuat lagu yang fit buat kita juga. Dulu sempat yang Roby nggitar, terus aku nyanyi gitu, tapi kok nggak iso... Terus nge-jam di studio, yo iso dadi lagu, tapi dirungokne meneh kok elek.. Kita lagi dapet yang fix-nya dalam proses yang selama enam tahun itu. Jadi antara lagu-lagu yang awal, tengah-tengah, sama yang akhir-akhir itu beda semua prosesnya. Yang Dance Song dan lagu-lagu awal itu rembukannya masih kami berdua (Farid dan Roby), terus yang pertengahan, semua orang mulai ngasih masukan. Yang terakhir ini malah beda lagi, Roby punya komposisi terus dibawa ke studio. Jadi emang trial and error semua, sampe enam tahun itu.
Berarti yang terakhir itu yang jadi formulanya ya?
Farid: Ya, itu lebih pas buat kita. Di album ini ada 10 lagu, 9 lagu itu sudah dimainkan semua di panggung sebelum kita rilis, cuma satu yang belum dimainin live, 120. Jadi yang sembilan itu yang bener-bener nemenin kita berproses.
Roby: Sebenernya kalo diitung-itung mungkin ada sekitar dua puluhan lagu. Tapi ga semuanya cocok. Prosesnya emang beda kali ya, karena kami juga bukan orang yang bener-bener ahli. Tapi kita emang mencari-cari yang paling oke.
Maha Oke ya, Maha Oke?
Farid: Yadauw... Hehehe, sampe semuanya oke, mulai dari lirik, dari performance, brand sebuah band itu seperti apa, kita bener-bener mempelajarinya dari yang, yo.. umpamanya bener yang...
Dipikirkan masak-masak?
Farid: Ya...
Roby: Tapi intinya nothing to lose-lah, kita nggak pernah membicarakan kita akan main dimana, kenapa kita main disini, terus siapa aja yang main bareng kita, nggak. Maksudnya isu lokal yang berkembang di teritori ini seperti apa, kita luweh, anak-anak nggak pernah peduli.
Farid: Nah, nothing to lose-nya anak-anak itu seperti itu. Kita sebagai band tidak pernah berekspektasi apapun termasuk sampe mau jadi apa si band ini nanti. Makanya butuh waktu yang lama karena memang tidak ada rencana, sama sekali nothing to lose. Termasuk ke persoalan paradigma-paradigma yang dulu sempet ada di Jogja seperti soal Utara dan Selatan. Kita dibesarkan di Selatan, kemudian ternyata banyak orang yang mempersoalkan Utara dan Selatan, kemudian ada batasan yang membuat anak Utara susah ke Selatan dan anak Selatan ke Utara.
Roby: Kita malah ga ngerti ada yang gitu-gitu...
Itu malah bikin Jogja jadi nge-gap ga sih?
Farid: Banget! Kita waktu itu mengalami friksi yang amat dahsyat. Pertamanya nggak mikir akan ada hambatan yang seperti itu, sampe suatu hari kita main di Utara dan ternyata itu dipermasalahkan di Selatan. Nah, kita nggak tau sampe ada yang kayak gitu, kita nggak nganggep itu ada, dan pada akhirnya ternyata keputusan kita untuk kesitu nggak salah. Malah akan jadi salah ketika kita cuma diem disana dan terbatasi.
Balik lagi ke soal album kalian, apa sih sebenernya konsep dari album Manifesto ini?
Farid: Manifesto secara harfiah berarti pernyataan sikap yang lebih cenderung politis sebenernya, tapi kita memaknainya pernyataan sikap kita sebagai empat orang yang tergabung dalam sebuah band. Mungkin antara satu lagu dengan lagu yang lain bukan sesuatu yang terangkai dalam satu konsep yang cetho ya. Kita sepenuhnya ngomongin posmodernisme juga nggak, karena prosesnya emang lama banget, dan disitu ada grafik yang naik turun. Kita sedang mengalami apa, kita tulis, kita mainkan. Akhirnya dari situ, inilah manifesto kita sebagai band, manifestasinya adalah album ini. Nah, kalo ditanyain beritanya apa, itu tadi, posmodernisme itu yang pengen kita angkat. Walaupun itu sebenarnya hanya termaktub di satu lagu thok, Manifesto Posmodernisme. Satu bagian reff-nya bilang, tak ada yang baru di bawah matahari, terus.. kita cuma ngambil-ngambil apa yang pernah ada, kita merangkainya kembali, seperti itu. Kalo selebihnya kita merayakan tentang remeh-temeh apa yang kita alamin. Ngomongke kehidupan yang mendekati kematian di Mati Muda, ngomongke Tuhan yang di sana, Maha Oke. Ngomongin rutinitas kita bekerja, ngomongin panggung-panggung dimana kita dibesarkan, terus ngomongin hal-hal personal. Yah gitu...Lagu-lagu ini yang bahasa Inggris kebanyakan lagu-lagu awal, karena dulu saya merasa terbatas kapabilitasnya untuk menulis lirik bahasa Indonesia.
Tapi keren lho kalian menulis dalam lirik bahasa Indonesia, karena ada kecenderungan band-band indie lokal sekarang untuk menggunakan lirik bahasa Inggris.
Farid: Nah, itu salah satu berita yang pengin kita bawa juga. Jadi kenapa masih ada lagu-lagu dengan lirik berbahasa Inggris disini, itu karena kita tidak ingin menghilangkan proses yang kita alami juga. Mungkin kita bisa menulis sepuluh lagu dengan lirik berbahasa Indonesia semua, karena menurutku Mati Muda itu sangat berhasil. Tapi dalam prosesnya, kita sempat mengalami kalau lagu berbahasa Inggris itu ternyata keren untuk diucapkan, bisa berdengung-dengung tanpa harus ketahuan maknanya (sambil ketawa). Nah, makanya isinya yang di awal-awal itu lebih yang, oh.. Rob, tulung Rob.., hehehe...
Ada lagu yang proses penggarapannya menarik untuk diceritakan ga nih?
Roby: Mati Muda.
Farid: Mati Muda dari dia, dari dia baru ke saya (sambil ngguya-ngguyu ke Roby)
Roby: Tidak berusaha menghubung-hubungkan ini dengan pengalaman, cuma kebetulan aku wis tau hampir mati. Kecelakaan tho, waktu kakiku digips, kalo menurutku itu waktu dimana aku mengalami sebuah proses.. Selama ini kan kita sangat sulit menciptakan, ketoke angel banget, tidak semudah apa yang kita tau ternyata. Nah dari situ saat di-gips, kalo kejadian hampir mati kan biasanya sentimentil gitu, keluarnya aku langsung bilang sama Farid, lagunya ini judulnya Mati Muda.
Farid: Masih dalam bentuk komposisi waktu itu.
Roby: Ya intinya aku bilang sama Farid, lagu ini tidak untuk mengajak orang mati muda dalam pemikiran yang dangkal. Nah, hebatnya Farid kan dia bisa merangkai kata-kata. Itu akhirnya berproses, sampai Farid bisa mendefinisikan lagu itu dengan liriknya. Mulai.. ya, mulai berani kan...
Farid: Karena break-nya kan disitu.
Roby: Saat lagu ini kan kita semua mulai berani gitu. Mulai aku sing piye, Farid sing awalnya sentimentil, “jangan tinggalkan aku”, akhire sampai ke yang.. “saiki riil wae”.
Farid: Ya, ya... Kita mulai riil di Mati Muda. Saya mulai riil dari pertama saya, tapi kita semua di Jenny mulai riil di Mati Muda.
Roby: Mati Muda itu lagu keempat.
Farid: Jadi aku pertama kali mulai nulis lirik bahasa Indonesia di Mati Muda. Mulai memasukkan tulisanku ke dalam lagu... Jadi sebelumnya udah banyak nulis dalam bahasa Indonesia tapi belum berani untuk memasukkannya ke lagu. Nah, karena di lagu yang Mati Muda, komposisi udah ada, judulnya Mati Muda, masak aku nulis bahasa Inggris judulnya Young Dead gitu, kan lucu. Terus akhirnya dari situ yang bikin aku kok merasa lagu ini adalah lagu yang gifted buat kita. Kenapa tiba-tiba ada komposisi yang berjudul Mati Muda, kenapa tiba-tiba aku bisa nulis yang seperti ini. Terus jadi lagu, kita mainin, kok ternyata ada yang suka. Lagu ini juga mengantarkan kita kemana-mana, masuk ke Radit dan Jani, masuk kemana, kemana. Sekarang kalo temen-temen yang di luar sana ditanya: Jenny, ya Mati Muda. Makanya ini lagu yang sangat gifted, prosesnya sangat kita amini, hasilnya juga sangat represent apa yang udah kita lakukan. Habis itu kan aku jadi tau aku bisa menulis kayak yang Mati Muda, anak-anak juga jadi bisa lebih eksplor lagi. Jadi lebih bebas lagi dalam berkarya.
Last word buat temen-temen pembaca Playbook, guys?
Mungkin ini ya, jadi sebenernya akan lebih mulia, temen-temen itu akan jadi keren bangetlah kalo temen-temen menyukai, mengidolakan, melihat, sesuatu yang temen-temen dapatkan sendiri kekerenannya. Jadi dengan begitu, temen-temen benar-benar mengetahui apa yang temen-temen sukai, gitu...
Gosip Mbak Jenny:
*Jenny dulu pernah punya dua orang groopie berani mati, namanya Astrek dan Koncreng. Selama satu tahunan, dua orang cewek ini dengan setia selalu hadir di setiap gig Jenny. Mereka akan berjoget, bernyanyi dan menggila di barisan paling depan, bahkan saat di barisan depan hanya ada mereka. Wow! Denger-denger Jenny merasa kehilangan ketika mereka mulai tidak menampakkan diri. Hmm, diam-diam ternyata mereka inspiring buat Jenny. Buat Astrek dan Koncreng, kapan-kapan mampir ke gig-nya Jenny lagi ya...
*Jenny ternyata nggak senang kalo para fans hanya menyukai mereka dari attitude di atas panggung tanpa benar-benar memahami karya-karya mereka. Bener juga, ga sehat kan kalo kalian suka sama Jenny hanya karena mereka terlihat keren dengan jaket kulit dan gayanya yang urakan di atas panggung.
*Farid ternyata nggak bisa main kalo nggak bareng Roby, katanya kalo ga bareng Roby, “F****!!!”. Hehehe.. ada apa nih?
_
No comments:
Post a Comment