mbribik mbak jenny

playbook

jenny on PLAYBOOK 2nd edition

Seperti layaknya mengobrol dengan mbak-mbak kebanyakan, obrolan Playbook dengan mbak Jenny malam itu menyerempet ke urusan mbribak-mbribik. Untungnya kita nggak keterusan ngomongin begituan, soalnya mbak Jenny emang bukan sembarang mbak-mbak, mbak kita yang satu ini ternyata brengosen dan rock and roll abis. Mbak Jenny gitu loh...
Eh, ngelantur ya? Sori,sori.. soalnya wawancara Playbook dengan Jenny waktu itu juga penuh dengan lanturan dan gojek kere sih. Kita aja sampe bingung mau mulai wawancara darimana gara-gara keakehan gojek. Yah, meskipun sebenarnya personil Jenny yang hadir hanya Farid (vokal) dan Roby (gitar) tanpa Anis (drum) dan Simbah (bass), tapi wawancara Playbook dengan Jenny berlangsung sip dan hore. Bahkan kita kewalahan karena mereka banyak omong kayak mbak-mbak (becanda, bro...hehehe).
Band yang tergolong cukup lama memeriahkan kancah musik Jogja ini mungkin sudah kamu kenal lewat pensi-pensi dan berbagai gig indie. Perlahan tapi pasti, dalam rentang enam tahun yang mereka lalui dari pentas ke pentas, Jenny membuktikan kesolidan mereka dalam bermusik. Buah kerja keras mereka adalah 'Manifesto', album pertama yang merekam perjalanan Jenny, tidak hanya secara musikalitas sebagai sebuah band, tapi juga sebagai individu yang bergelut dengan laju kehidupan di era posmoderen dalam wilayah kesadaran tertentu.
Berikut petikan wawancara kami..

Selama enam tahun ngeband, kok baru sekarang ngeluarin album? Kenapa lama sekali?
Farid: Kita nggak bisa lebih cepat, tapi mungkin juga nggak bisa ditunda lagi. Ini kemudian jadi waktu yang optimal buat kami. Optimalnya itu karena, satu, kita berani bilang, kita ngeband itu bener-bener indie. Kita pernah ngerasain yang namanya 'berburu dan meramu' sampai kita bisa seperti sekarang ini. Mulai dari ngeband nggak dibayar, trus dibayar bir, dibayar lima puluh ribu seratus ribu, itu bener-bener yang dikumpulin sampai akhirnya kita punya plot untuk recording. Berarti kan emang butuh proses yang cukup lama. Kita nggak pernah disokong oleh korporasi apapun, justru kitalah yang menghidupi band. Sampe sekarangpun band ini nggak pernah menghidupi personelnya, paling mentok anak-anak make uang Jenny buat makan, logistik. Dari segi konsep, band dan album ini tidak pernah kami rencanakan untuk jadi seperti ini atau itu. Kita nge-band, what you see is what you get, kita olah terus, berproses... sampe akhirnya kita bisa punya lagu sendiri di tahun kedua.

Lagu pertama Jenny sendiri apa?
Farid: Yang pertama Dance Song, dan kemudian itu selalu jadi lagu yang terakhir kalo di panggung. Dulu kalo ditanyain, Jenny musiknya seperti apa, jawabnya kayak Dance Song.
Roby: Hampir enam tahun ya... enam tahun itu bukan karena menunggu atau kita proses rekaman, lagu itu kadang tercipta dalam jangka waktu yang panjang banget.
Farid: Soalnya kita nyari proses membuat lagu yang fit buat kita juga. Dulu sempat yang Roby nggitar, terus aku nyanyi gitu, tapi kok nggak iso... Terus nge-jam di studio, yo iso dadi lagu, tapi dirungokne meneh kok elek.. Kita lagi dapet yang fix-nya dalam proses yang selama enam tahun itu. Jadi antara lagu-lagu yang awal, tengah-tengah, sama yang akhir-akhir itu beda semua prosesnya. Yang Dance Song dan lagu-lagu awal itu rembukannya masih kami berdua (Farid dan Roby), terus yang pertengahan, semua orang mulai ngasih masukan. Yang terakhir ini malah beda lagi, Roby punya komposisi terus dibawa ke studio. Jadi emang trial and error semua, sampe enam tahun itu.

Berarti yang terakhir itu yang jadi formulanya ya?
Farid: Ya, itu lebih pas buat kita. Di album ini ada 10 lagu, 9 lagu itu sudah dimainkan semua di panggung sebelum kita rilis, cuma satu yang belum dimainin live, 120. Jadi yang sembilan itu yang bener-bener nemenin kita berproses.
Roby: Sebenernya kalo diitung-itung mungkin ada sekitar dua puluhan lagu. Tapi ga semuanya cocok. Prosesnya emang beda kali ya, karena kami juga bukan orang yang bener-bener ahli. Tapi kita emang mencari-cari yang paling oke.

Maha Oke ya, Maha Oke?
Farid: Yadauw... Hehehe, sampe semuanya oke, mulai dari lirik, dari performance, brand sebuah band itu seperti apa, kita bener-bener mempelajarinya dari yang, yo.. umpamanya bener yang...

Dipikirkan masak-masak?
Farid: Ya...
Roby: Tapi intinya nothing to lose-lah, kita nggak pernah membicarakan kita akan main dimana, kenapa kita main disini, terus siapa aja yang main bareng kita, nggak. Maksudnya isu lokal yang berkembang di teritori ini seperti apa, kita luweh, anak-anak nggak pernah peduli.
Farid: Nah, nothing to lose-nya anak-anak itu seperti itu. Kita sebagai band tidak pernah berekspektasi apapun termasuk sampe mau jadi apa si band ini nanti. Makanya butuh waktu yang lama karena memang tidak ada rencana, sama sekali nothing to lose. Termasuk ke persoalan paradigma-paradigma yang dulu sempet ada di Jogja seperti soal Utara dan Selatan. Kita dibesarkan di Selatan, kemudian ternyata banyak orang yang mempersoalkan Utara dan Selatan, kemudian ada batasan yang membuat anak Utara susah ke Selatan dan anak Selatan ke Utara.
Roby: Kita malah ga ngerti ada yang gitu-gitu...

Itu malah bikin Jogja jadi nge-gap ga sih?
Farid: Banget! Kita waktu itu mengalami friksi yang amat dahsyat. Pertamanya nggak mikir akan ada hambatan yang seperti itu, sampe suatu hari kita main di Utara dan ternyata itu dipermasalahkan di Selatan. Nah, kita nggak tau sampe ada yang kayak gitu, kita nggak nganggep itu ada, dan pada akhirnya ternyata keputusan kita untuk kesitu nggak salah. Malah akan jadi salah ketika kita cuma diem disana dan terbatasi.

Balik lagi ke soal album kalian, apa sih sebenernya konsep dari album Manifesto ini?
Farid: Manifesto secara harfiah berarti pernyataan sikap yang lebih cenderung politis sebenernya, tapi kita memaknainya pernyataan sikap kita sebagai empat orang yang tergabung dalam sebuah band. Mungkin antara satu lagu dengan lagu yang lain bukan sesuatu yang terangkai dalam satu konsep yang cetho ya. Kita sepenuhnya ngomongin posmodernisme juga nggak, karena prosesnya emang lama banget, dan disitu ada grafik yang naik turun. Kita sedang mengalami apa, kita tulis, kita mainkan. Akhirnya dari situ, inilah manifesto kita sebagai band, manifestasinya adalah album ini. Nah, kalo ditanyain beritanya apa, itu tadi, posmodernisme itu yang pengen kita angkat. Walaupun itu sebenarnya hanya termaktub di satu lagu thok, Manifesto Posmodernisme. Satu bagian reff-nya bilang, tak ada yang baru di bawah matahari, terus.. kita cuma ngambil-ngambil apa yang pernah ada, kita merangkainya kembali, seperti itu. Kalo selebihnya kita merayakan tentang remeh-temeh apa yang kita alamin. Ngomongke kehidupan yang mendekati kematian di Mati Muda, ngomongke Tuhan yang di sana, Maha Oke. Ngomongin rutinitas kita bekerja, ngomongin panggung-panggung dimana kita dibesarkan, terus ngomongin hal-hal personal. Yah gitu...Lagu-lagu ini yang bahasa Inggris kebanyakan lagu-lagu awal, karena dulu saya merasa terbatas kapabilitasnya untuk menulis lirik bahasa Indonesia.

Tapi keren lho kalian menulis dalam lirik bahasa Indonesia, karena ada kecenderungan band-band indie lokal sekarang untuk menggunakan lirik bahasa Inggris.
Farid: Nah, itu salah satu berita yang pengin kita bawa juga. Jadi kenapa masih ada lagu-lagu dengan lirik berbahasa Inggris disini, itu karena kita tidak ingin menghilangkan proses yang kita alami juga. Mungkin kita bisa menulis sepuluh lagu dengan lirik berbahasa Indonesia semua, karena menurutku Mati Muda itu sangat berhasil. Tapi dalam prosesnya, kita sempat mengalami kalau lagu berbahasa Inggris itu ternyata keren untuk diucapkan, bisa berdengung-dengung tanpa harus ketahuan maknanya (sambil ketawa). Nah, makanya isinya yang di awal-awal itu lebih yang, oh.. Rob, tulung Rob.., hehehe...

Ada lagu yang proses penggarapannya menarik untuk diceritakan ga nih?
Roby: Mati Muda.
Farid: Mati Muda dari dia, dari dia baru ke saya (sambil ngguya-ngguyu ke Roby)
Roby: Tidak berusaha menghubung-hubungkan ini dengan pengalaman, cuma kebetulan aku wis tau hampir mati. Kecelakaan tho, waktu kakiku digips, kalo menurutku itu waktu dimana aku mengalami sebuah proses.. Selama ini kan kita sangat sulit menciptakan, ketoke angel banget, tidak semudah apa yang kita tau ternyata. Nah dari situ saat di-gips, kalo kejadian hampir mati kan biasanya sentimentil gitu, keluarnya aku langsung bilang sama Farid, lagunya ini judulnya Mati Muda.
Farid: Masih dalam bentuk komposisi waktu itu.
Roby: Ya intinya aku bilang sama Farid, lagu ini tidak untuk mengajak orang mati muda dalam pemikiran yang dangkal. Nah, hebatnya Farid kan dia bisa merangkai kata-kata. Itu akhirnya berproses, sampai Farid bisa mendefinisikan lagu itu dengan liriknya. Mulai.. ya, mulai berani kan...
Farid: Karena break-nya kan disitu.
Roby: Saat lagu ini kan kita semua mulai berani gitu. Mulai aku sing piye, Farid sing awalnya sentimentil, “jangan tinggalkan aku”, akhire sampai ke yang.. “saiki riil wae”.
Farid: Ya, ya... Kita mulai riil di Mati Muda. Saya mulai riil dari pertama saya, tapi kita semua di Jenny mulai riil di Mati Muda.
Roby: Mati Muda itu lagu keempat.
Farid: Jadi aku pertama kali mulai nulis lirik bahasa Indonesia di Mati Muda. Mulai memasukkan tulisanku ke dalam lagu... Jadi sebelumnya udah banyak nulis dalam bahasa Indonesia tapi belum berani untuk memasukkannya ke lagu. Nah, karena di lagu yang Mati Muda, komposisi udah ada, judulnya Mati Muda, masak aku nulis bahasa Inggris judulnya Young Dead gitu, kan lucu. Terus akhirnya dari situ yang bikin aku kok merasa lagu ini adalah lagu yang gifted buat kita. Kenapa tiba-tiba ada komposisi yang berjudul Mati Muda, kenapa tiba-tiba aku bisa nulis yang seperti ini. Terus jadi lagu, kita mainin, kok ternyata ada yang suka. Lagu ini juga mengantarkan kita kemana-mana, masuk ke Radit dan Jani, masuk kemana, kemana. Sekarang kalo temen-temen yang di luar sana ditanya: Jenny, ya Mati Muda. Makanya ini lagu yang sangat gifted, prosesnya sangat kita amini, hasilnya juga sangat represent apa yang udah kita lakukan. Habis itu kan aku jadi tau aku bisa menulis kayak yang Mati Muda, anak-anak juga jadi bisa lebih eksplor lagi. Jadi lebih bebas lagi dalam berkarya.

Last word buat temen-temen pembaca Playbook, guys?
Mungkin ini ya, jadi sebenernya akan lebih mulia, temen-temen itu akan jadi keren bangetlah kalo temen-temen menyukai, mengidolakan, melihat, sesuatu yang temen-temen dapatkan sendiri kekerenannya. Jadi dengan begitu, temen-temen benar-benar mengetahui apa yang temen-temen sukai, gitu...

Gosip Mbak Jenny:
*Jenny dulu pernah punya dua orang groopie berani mati, namanya Astrek dan Koncreng. Selama satu tahunan, dua orang cewek ini dengan setia selalu hadir di setiap gig Jenny. Mereka akan berjoget, bernyanyi dan menggila di barisan paling depan, bahkan saat di barisan depan hanya ada mereka. Wow! Denger-denger Jenny merasa kehilangan ketika mereka mulai tidak menampakkan diri. Hmm, diam-diam ternyata mereka inspiring buat Jenny. Buat Astrek dan Koncreng, kapan-kapan mampir ke gig-nya Jenny lagi ya...
*Jenny ternyata nggak senang kalo para fans hanya menyukai mereka dari attitude di atas panggung tanpa benar-benar memahami karya-karya mereka. Bener juga, ga sehat kan kalo kalian suka sama Jenny hanya karena mereka terlihat keren dengan jaket kulit dan gayanya yang urakan di atas panggung.
*Farid ternyata nggak bisa main kalo nggak bareng Roby, katanya kalo ga bareng Roby, “F****!!!”. Hehehe.. ada apa nih?

_

jenny on DAB free music magazine vol 10

dab
Setelah kurang lebih enam tahun lompat dari panggung ke panggung, Jenny akhirnya merilis LP pertama mereka. Sebuah perjalanan dan penantian panjang ini menghasilkan sebuah “Manifesto”. Tidak hanya menjadi pembuktian namun lebih dari itu, “Manifesto” menjadi sebuah pernyataan sikap dari Jenny. Berikut sedikit percakapan DAB dengan Jenny mengenai LP perdana mereka, perjalanan panjang mereka, hingga pernyataan sikap mereka dalam “Manifesto”.

Ceritain sedikit dong tentang perjalanan Jenny..
Farid: Perjalanan berarti semacam kronologis gitu ya…awal mulanya dari kampus ISI Seni Rupa, rentang waktunya tengah ampe akhir 2003. Saya, Robi, beberapa adik kelas termasuk Arjuna cari-cari orang untuk bikin band buat ngisi malam keakraban tahun 2003. Terbentuk dengan nama Jenny bla-bla-bla tapi kebawa kesininya kita makenya nama Jenny.

Salah satu single kalian yang berjudul “Mati Muda” itu kalo ga salah pernah ada filmnya yang di-launching di Kinoki ya…bisa diceritain gimana akhirnya single itu bisa jadi sebuah film?
Robi: Jadi kasusnya ada kawan dari komunitas film yang tertarik membuat film bedasarkan lagu “Mati Muda”.
Farid: Jadi sebenernya trigger-nya itu anak-anak SMA yang mengapresiasi lagu itu, kebetulan dilihat sama temen kami. Dan hal ini menarik untuk diangkat menjadi sebuah film, ketertarikan itu disampaiin ke kami, gimana kalo kita bikin film berdasarkan lagu “Mati Muda”, yang akan dibuat oleh anak-anak SMA tersebut. Akhirnya kami ngobrol-ngobrol dan kemudian jadilah sebuah film yang berjudul “Aku Pernah Mati”. Kami sendiri benar-benar lepas dari proses kreatif mereka, lagu ini kami lepas dan silahkan untuk dikonsep. Sedangkan lagu “Mati Muda” ini juga dipake untuk film Radit dan Jani, yang berawal dari kebetulan. Teman kami ada yang membawa MP3 “Mati Muda” di flashdisk-nya dan kemudian didengar oleh teman-teman yang sedang berproses di film Radit dan Jani. Kemudian dibawa ke board yang lebih tinggi dan lagu ini masuk.

Antara rentang kemunculan “Mati Muda” tahun 2005 dan LP pertama kalian “Manifesto” yang baru rilis 2009 ini terbilang cukup lama, ada kendala atau pertimbangan tertentu?

Farid: Kalo rilisnya 12 Maret 2009 mungkin ya karena harus rilis tanggal tersebut klo kita pikir. Soalnya album ini kita buat tidak dalam rencana konsep yang tertulis dari awal yang seperti ini atau itu tapi lebih ke kita mengalami prosesnya dulu sampai selesai. Setelah kita rasa cukup prosesnya kita rilis album ini. Jadi memang bukan dalam suatu masterplan kita targetnya tahun ini atau tahun depan harus rilis tapi ternyata kami bisa rilisnya setelah 6 tahun. Sebenernya cukup klise, tadinya tahun 2008 kita maunya rilis tapi tenyata itu ga bisa.

Apa Jenny merasa harus ada proses pematangan diatas panggung sebelum akhirnya bisa dirilis? mengingat saat ini proses recording terbilang lebih “bersahabat” dibanding jaman dulu.
Robi: Kalo menurut kami memang secara tidak sengaja awal-awal kami lebih sering di panggung, tapi bukan karena itu juga. Kami lebih merasa bahwa kami kesulitan memilih lagu-lagu yang akan masuk di album ini. Kebetulan kami bukan orang-orang yang kesehariannya bergelut di dunia musik, dan kami memproses ini seperti membuat sesuatu yang sangat spesial padahal ini kan pilihan aja. Ada 20-an lagu yang harus kita pilih dan matengin sampai ga ada yang bisa kami matengin lagi.
Farid: Kalo di panggung, faktanya materi yang ada di LP ini pernah dimainin di panggung. Emang dari awal segala sesuatunya band ini tidak dalam rencana besar. Bukan dalam suatu masterplan harus seperti apa, sampe hal-hal yang detih seperti harus gede di panggung dulu atau apa. Tapi kenyataannya yang kami dapat dan kami syukuri sekarang adalah kami diasuh oleh panggung-panggung yang kami naiki. Satu panggung demi panggung kami alami sebagai sebuah proses. Lagu-lagu ini dilaunchingnya justru di panggung-panggung tersebut. Lagu yang ada di LP ini adalah lagu yang dibikin 2002 sampai 2009 tapi semuanya sudah pernah kami mainkan. Kita lihat responnya seperti apa. Kalo jelek kami tinggalin, kalo bagus kami hajar terus.
Robi: Ada hubungannya juga kenapa begitu lama karena muncul ini dan itu di beberapa part lagu itu. Kami mencoba bereksperimen walaupun tidak menakjubkan. Terkadang kami memilih eksperimen itu kami bawa ke panggung.
Farid: Iya, jadi lagunya prosesnya juga berlangsung di panggung. Dan kami bisa melihat antara perubahan yang kami buat dengan respon dari penonton. Secara materi seperti itu.
Robi: Ketika kami menambahkan suatu detil kemusikan sering kita uji coba di panggung. Seperti “Mati Muda” awalnya plain aja tapi kami tambahkan sesuatu yang berbeda.

Dengan perubahan-perubahan dengan eksperimen yang kalian lakukan apa tidak ada ketakutan kalo musik kalian akan bergeser secara cepat antara musik kalian yang sekarang dengan yang berikutnya? kalian sendiri melihat musik Jenny seperti apa?
Farid: Nah itu dia, yang kita dapet dari panggung itunya. Mungkin kalo kami merilis album dengan konsep yang bulat mungkin kami akan salah merumuskan musik kami. Dulu kami sempat yakin bahwa musik kami disemangati unsur punk, dance dan garage. Itu kami lihat di “Dance Song”. Tapi kesininya apa-apa yang kami amini dari awal semakin ada isinya tapi ada hal-hal yang berbeda dari yang awal kami mainkan. Akhirnya kami melebur kembali apa yang kami yakini sebelumnya, kami konstruksi lagi, hancurkan lagi dan dibangun lagi tapi masih dalam satu konsep besar musik yang kami namakan musik yang dimainkan Jenny itu. Antara sepuluh lagu ini akan dirasakan lagu-lagu tertentu akan mengarah kesini sedangkan yang lainnya ke arah yang lainnya, seperti itu.

Secara keselurahan apa yang ingin kalian bicarakan di LP kalian “Manifesto” ini?
Farid: Di awal munculnya “Mati Muda”, kami sempat dikorelasikan dengan salah satu lagu milik The Strokes. Segala kebetulan ini terbaca di masyarakat, tapi kami tidak berhenti disitu. Kami belajar banyak. Dan akhirnyan kami mendapatkan sebuah narai dalam lagu “Manifesto Postmodernisme”. Disitu ada sebuah ungkapan bahwa kita hidup di suatu era tidak ada lagi kebaruan, kita menghidupi hidup kita dengan hanya mengambil apa yang ada di sekeliling kita dan merangkainya kembali dengan kemampuan kita, dengan insting kita, dengan suatu apapun kita yang ingin kita bentuk. Secara konsep akhirnya “Manifesto Postmodernisme” yang membungkus semuanya, membungkus apa-apa yang telah kami lakukan. Bukan sebagai pembenaran tapi sebagai penguatan saja. Sedangkan Manifesto sendiri sebagai pernyataan sikap. Inilah enam tahun berjalannya band, manifestonya album ini. Dan ini utang selama ngeband.
Robi: Klo isi dari sepuluh lagu di LP ini lebih banyak berbicara hal remeh-temeh kehidupan saja. Mungkin remeh-temeh untuk orang lain tapi spesial untuk kami. Tapi secara penulisan meskipun remeh-temeh pemaknaannya tidak dangkal, dimana lirik bisa bercerita dengan cukup indah. Tapi sebenernya itu Cuma remeh-temeh saja,hahaha.

Membicarakan LP kalian belum lengkap rasanya kalo belum menyentuh sisi artwork-nya. Kalo artworknya sendiri terlihat cukup berbeda, bisa diceritain sedikit tentang artworknya?
Farid: Itu kebetulan yang bikin saya. Sebenernya tujuan dari artworknya menjauhkan band dari image-image band seperti kami kebanyakan. Jadi saya coba bikin yang menjauhkan dari image-image tipikal band-band seperti kami. Biarkan ini menjadi ikon buat kami.
Robi: Kami mencoba menghancurkan image Jenny dengan ikon itu, hahaha..
Farid: Ternyata sempet denger juga beberapa pendapat dari yang ngeliat ini…bahkan ada yang bertanya apa ini konsepnya hipnotising gitu ya, hahaha…Mungkin…

Dari perjalanan 6 tahun ini, bagaimana kalian melihat scene musik Jogja sendiri?
Farid: Tidak dipungkiri bahwa banyak sekali band Jogja yang keren dan berkualitas. Bahkan terlalu banyak menurut saya. Tapi menurut saya belum banyak yang bisa menjadi penanda besar. Dulu ada eranya Bangkutaman, lalu The Monophones juga hampir menjadi penanda besar. Akhirnya sekarang terbilang sedikit yang bisa menjadi penanda besar dan kurang bisa mewakili ke-Jogjaan-nya. Menurut saya.
Robi: Mungkin wadahnya terbilang kurang, banyak band-band baru yang ingin bermain di panggung tapi terkesan tidak diberi ruang oleh beberapa penyelenggara. Tapi akhir-akhir ini justru club-club mulai membuka diri untuk band-band cutting edge.

Ok, terimakasih banget buat interviewnya. Ada pesen khusus buat pembaca DAB?
Farid: Mungkin kalo sebagai band ya “Manifesto” ini pernyataan kami..
Robi: Dan hindari narkoba tentunya, hahaha….Tetap maju musik Indonesia, hahaha….

film: Aku Pernah Mati

1. Aku Pernah Mati: sebuah film karya utpala atworks

Film ini diluncurkan pada Sabtu, 16 Februari 2008 dengan dimeriahkan oleh pertunjukan musik dari Jenny, Essen Un Blood, Ruang Maya, Oh Nina!, Gelindjank Tjahaya, Mahalo, C’mon Jimmy, dan Kembar Siam. Acara dimulai pukul 19.30 dengan diawali dengan pertunjukan musik. Setelah menunggu selama 2 jam, akhirnya pada pukul 21.30 film diputar.

Tampilan acaranya sendiri cukup memuaskan dalam artian acara berjalan lancar tanpa ada gangguan teknis yang berarti. Panggung disiapkan di halaman tengah Kinoki yang biasanya dipergunakan sebagai bukan coffeshop. Selain dipersiapkan sebagai panggung pertunjukan musik, panggung juga ditata sebagai tempat pemutaran film. Asyik juga menonton di halaman. Tampilan layar yang besar dan gambar film yang jelas, lumayanlah menjaring penonton untuk tetap setia selama 20 menit durasi pemutaran.

Peluncuran film Aku Pernah Mati ini ternyata menyedot perhatian dari banyak penonton yang kebanyakan adalah anak muda. Animo yang besar tersebut terbukti dari banyaknya penonton yang hadir malam itu. Semakin malam, penonton yang datang semakin banyak. Sembari menunggu pemutaran film, penonton lesehan, minum, makan dan menonton pertunjukan musik. Tapi yang patut mendapatkan catatan di sini adalah animo penonton ketika film ini diputar. Jika bisa diklasifikasikan, ada dua jenis penonton yang datang malam itu. Jenis pertama, adalah penonton yang tetap antusias menunggu dan ketika film ini diputar, banyak yang langsung menghadap layar dan asyik menonton. Karena memang pemutaran film inilah yang dijadikan menu utama oleh mereka. Tapi sebagian yang lain yakni jenis kedua, ada yang tidak mempedulikan film. Hal itu mungkin karena penonton ini lelah menunggu atau saking menikmati musik sehingga perhatiannya lebih tersedot ke pertunjukan musik atau bisa jadi mereka datang hanya untuk menikmati musiknya. Hal tersebut bisa mendapatkan pemakluman karena agaknya band-band pengisi acara malam itu memiliki fans tetap dan kemungkinan besar fans merekalah yang hadir. Sebagian dari jenis yang kedua ini malah ada yang asyik dengan obrolan di kelompoknya masing-masing. Meski demikian, secara keseluruhan, acara peluncuran ini berjalan lancar. Untung hujan tidak turun dan langit lumayan cerah. Pantaslah jika yang empunya acara menarik napas lega. Lancar.

Meski demikian ada beberapa catatan untuk acara ini. Ada beberapa teman yang mengatakan bahwa acara peluncuran film ini sebaiknya tidak terlalu bertele-tele. Pertunjukan musik selama hampir 2 jam sebelum pemutaran film dimulai, sebenarnya sudah menguras energi penonton. Menunggu bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Apalagi menunggu untuk 20 menit menonton. Untuk para fans dari band-band indie tersebut atau penonton yang memang datang karena ingin menonton dan kebetulan menyukai jenis musik seperti yang ditampilkan malam itu, tentu saja tidak masalah untuk menunggu selama hampir 2 jam. Tapi bagaimana dengan penonton yang hanya datang karena film itu dan tidak menyukai pertunjukan musiknya? Ya yang ada hanyalah manyun dan resah melihat jam. Bahkan ada yang beranjak pergi karena bosan menunggu padahal belum menonton filmnya. Sayang to sebenarnya? Mungkin hal-hal kecil seperti ini patut diantisipasi sebelumnya supaya semua pihak bisa dirangkul. Ada rerasan seperti ini: mbok filmnya diputar duluan to. Musik pembukanya cukup 20 menit wae lah. Nanti setelah film selesai, baru disambung lagi. Capek nih nunggunya...

teks ini di publish oleh kinoki

2. launching film: aku pernah mati

Peristiwa Berdarah production bekerjasama dengan What the hell clothing company dan Kopeh, mempersembahkan Launching film: Aku Pernah Mati, karya Utpala Artwork yang dibintangi oleh Eric Moubarak, Charlotte Putrid an disutradarai oleh A. Andic. Film ini adalah sebagai respon dari kehidupan emosi remaja yang digambarkan lewat seorang siswa SMU di Jogjakarta yang mudah putus asa akibat permasalahan-permasalahan kesehariannya dari sekolah, orang tua, teman-temannya. Rado (tokoh utama, red.) seharusnya menjalani hari-hari yang indah dengan segudang cerita cinta. Namun tampaknya kisah indah tak rela membelainya. Kematian menyelimuti alam pikirannya disaat semua orang berbahagia. Apa yang sesungguhnya terjadi pada Rado?. Kehidupan seperti apa yang dijalaninya di tengah alam pikiran tentang kematian?

Film ini akan meluruskan perspektif umum anak muda tentang trend istilah “Mati Muda” yang ditangkap sebagai suatu ke”keren”an dan juga terinspirasi lagu “Mati Muda” milik Jenny yang secara eksplisit ditangkap oleh kebanyakan anak muda sebagai bentuk persuasi yang negatif. Padahal lagu tersebut sebenarnya memiliki makna besar tentang sebuah pemahaman akan “menikmati dan mensyukuri kehidupan yang telah diberikan Tuhan”.

Pertunjukkan akan dibuka oleh music dengan genre post-rock dan shoegaze yang cenderung sendu dan galau dengan dukungan artistic dari video art performances yang mengusung tema serupa. Di tengah-tengah suasana tersebut akan diputarkan film “Aku Pernah Mati”.

Acara ini dilaksanakan pada Sabtu 16 Februari 2008 , jam 18.00 – selesai , di Kinoki baru sebelah kanan Whatever Shop, Kotabaru. Dan dimeriahkan oleh musik dan multimedia performances dari Jenny, Airport Radio, Oh Nina, Ruang Maya, Individual Life, Oke Karaoke (Semarang), Mahalo, C’mon Jimmy,Essen Und Blood dan video-video artists. Acara ini gratis dan akan memberikan booklet gratis kepada 200 pengunjung pertama

text by Anggit Tut Pinilih published at trulyjogja.com
--

jenny oleh eddie mohammad

Tolong baca yang ini dahulu, jangan langsung tonton video klipnya, save the best for the last, and yes, I do mean they have an amazing video clip. Satu keadaan dimana band-band independen besar kerap kali berasal dari ibukota tampaknya akan segera berganti, khususnya jika kota lain dapat melahirkan band-band berkualitas semacam ini. Lagu yang bertajuk "Mati Muda" ini mengandung lirik yang sangat ekspresif tanpa harus menghadirkan kesan vulgar atau kasar

Suara gaung gitar berdistorsi memekik mengisi kekosongan di ruang kerja saya, diikuti dengan serentak masuknya dentuman bass dan pukulan drum yang menghentak, dimana suara gitar berdistorsi beralih menjadi alunan nada latar berbobot berat, bergerak perlahan menghampiri nada mengiris harmoni kebersamaan untuk kemudian meleburkan diri kembali ke posisi semula, sebelum akhirnya mengetuk pintu, dan masuk tanpa permisi. Sekarang mereka ada di benak saya, tepat di tengah bagian terdalam. Mereka Jenny

Vokal yang lantang merasuk seolah menantang, tidak menyisakan ruang untuk dapat dibantah, memaksa telinga untuk mendengar. Teriakan indah berbalut aura berkarakter arogan namun sopan memimpin jalannya lagu. Semuanya berjalan simpel selama tidak lebih dari lima menit, "hidup tidak perlu terlalu lama, jika dosa yang berkuasa".

(terimakasih banyak kepada eddie 'aftermiles' untuk review dan ceritanya. thank you very much for making the choice to support us)
-

jenny manifesto oleh rullyboy at whatzups.com

“The Strokes versi Jogjakarta” pikir saya sewaktu pertama kali mendengar album baru dari sebuah band rock asal Jogjakarta, bernama Jenny. Lalu apakah tagline saya tersebut terlalu berlebihan atau justru membuat drop band ini? Ok, here we go.

Album ini dibuka dengan sebuah lagu berjudul Mati Muda (yang juga menjadi soundtrack untuk film berjudul Radit & Jani di tahun 2008 kemarin), sebuah lagu yang bertempo cukup up beat dan ceria. Hmm, dari segi liriknya sangat stand out, (mungkin) bisa dijadikan sebagai acuan anthem untuk para muda mudi yang bermimpi untuk menjadi The Next Kurt Cobain. Tapi entah mengapa, saya tidak mendapatkan sensasi mengejutkan dari segi soundsnya. Terutama suara vokalnya, yang terkesan ingin menjadi Julian Casablancas. Bahkan hampir keseluruhan sounds di album ini terdengar (maaf) sedikit flat and thin. Tetapi sah-sah saja apabila personil band ini memang menginginkannya seperti itu.

Hanya beberapa lagu di album ini, yang menurut saya semuanya berjalan beriringan (karena semua elemen dari sebuah band menjadi satu) Keren! Seperti di lagu berjudul Manifesto Postmodernisme, The Only Way, dan 120. Satu hal yang harus digaris bawahi dari album Jenny adalah, mereka masih fasih menggunakan struktru bahasa Indonesia untuk liriknya dengan baik dan benar. Which is, menurut saya itu adalah sebuah hal yang harus dihargai bahkan dipelajari oleh band-band yang memainkan musik seperti ini. Album ini bukanlah album yang mengecewekan, mungkin hanya perlu pembelajaran dari segi sounds untuk di album berikutnya.!!!

terimakasih kepada rullyboy untuk review dan ceritanya. thank you very much for making the choice to support us)
-

track demi track di manifesto

O1. MATIMUDA
suara bulat dengung feedback gitar menjadi sebuah prolog pendek yang segera menghantarkan lagu ini kepada sebuah percakapan panjang antara melodisasi gitar robi, ruangan ruangan lebar buatan bass line arjuna, detak tenang drum line anis dan deklamasi lirik pendek farid. Masing-masing bagian menghibahkan ruh-nya kedalam track yang membahasakan sebuah tema sederhana tentang kematian dan semangat hidup. Track ini dibuat pada tahun 2006, pernah dirilis sebagai pengsisi soundtrack film berjudul radit dan jani. Matimuda piano version oleh lani frau, matimudatronik oleh tejo stoplichten, film indie berjudul ‘aku pernah mati’ oleh utpala atworks, muncul dan berkumpulnya klub matimuda dan banyak cerita tentang lagu ini sampai sekarang masih sangat mengharubirukan rasa senang dan terimakasih kami. Matimuda menjadi salah satu penanda utama perjalanan band kami.
‘Hidup tak perlu terlalu lama, jika dosa yang berkuasa’

02. MONSTER KARAOKE
tempo drum sedang dengan sedikit hook dan trik menabuh di tengah lagu menjadi setimpal dengan keceriaan yang dibawa oleh not-not gitar dan bass yang saling meloncat kesana kemari. Monster karaoke adalah single pertama di album manifesto. Tentang alter ego, keliaran dan sisi sebenar-benarnya dari setiap orang yang bisa tiba-tiba memberontak keluar lepas dari jasad ketika mendapatkan picu yang tepat.
‘Soraki laju lagu, tangisi melodi, rayakan apa saja hari ini’

03. MAHA OKE
Kami sedang bergosip tentang siapa yang paling bertanggung jawab atas semua semua dan semua keindahan hidup yang kami dan setiap orang alami setiap hari. Dan semua dari kami tidak ada yang dapat menyangkal kalau Dia adalah Tuhan. Dan kata ganti untuk Tuhan yang kami rasa paling intim bagi kami adalah ‘Maha Oke’. Ini adalah track yang paling religius bagi kami setelah lagu matimuda dan menjadi semacam lagu puji-pujian yang dapat kami gunakan untuk mengubah sebuah perhelatan musik, sesaat menjadi sebuah altar dan arena menyembah kebesaran-Nya.
‘pagi indah cerah yang engkau nanti dan sore redup tenang yang kau nikmati, sedikit dari banyak yang Maha Oke beri’

04. MANIFESTO POSTMODERNISME
Ada saatnya kami merasa sulit nan jengah akan pencarian identitas dalam berkarya. Kami merasa harus mendefinisikan diferensiasi karya kami atas sesuatu yang lain, namun kemudian terbantahkan oleh opini dan penilaian-penilaian yang dangkal. Saat itulah, beberapa poin-poin penting dari sebuah studi kultural bernama postmodernisme muncul kembali diingatan kami dan serta merta memberikan bantuan dan pencerahan atas kebingungan kami. Bahwa setiap narasi telah ditemukan, bahwa originalitas adalah nihil, dan bahwa kebaruan-kebaruan absolute tidak akan pernah datang lagi. Setiap apa yang kita lihat, dengar, ucap, makan, dan muntahkan setiap saat adalah remah dan sisa dari apa yang pernah ada sebelumnya. Unsur-unsur harafiah rock kami gunakan sebagai fitur eksekusi track ini seperti drum line yang menderu dan rapat, bass line klasik dan lugas, melodi gitar melengking berkelok-kelok di tengah lagu dan sedikit teriakan dalam pelafalan lirik. Track ini mungkin akan menjadi penyambung ke karya-karya kami pasca manifesto nanti. Well see.
‘Bungkam para arogan, Terjang para ideal’

05. MENANGISI AKHIR PEKAN
Salah satu track yang kami anggap paling manis, smooth, poptastic, dan unisex diantara materi lain di manifesto. Part guitar, bass, dan drum cukup ringan dan licin menimpali teks lirik tentang pahit manis yang kami alami selama kurang lebih 6 tahun membesarkan anak perempuan kami yang bernama jenny. Yaitu panggung demi panggung, rutinitas kuliah-kerja-hidup, teman-teman yang telah memutuskan untuk mendukung perjalanan dan perjuangan kami, cigarettes and alcohol, dan semua cerita-cerita kecil yang membantu mendewasakan kami sebagai sebuah keluarga. Ini adalah anthem personal kami atas proses panjang itu, sekaligus lagu terimakasih pada teman dan pencerita jenny semuanya.
‘teman dan pencerita, panggung dan pertunjukkan, cairan dan pendosa, rayakan dengan asap di hela nafas, jalan dan pencarian jawaban, ingatan dan penyesalan, tangisi akhir pekanmu’

06. THE ONLY WAY
Salah satu track klasik jenny yang sederhana, tapi sangat sulit kami temukan bentukan finalnya. Track ini mengalami masa-masa bongkar pasang dan perbaikan-perbaikan yang cukup lama dan sempat kami fikir tidak akan pernah selesai sampai akhirnya kita dapatkan eksekusi yang menurut kami optimal dan layak kami masukkan ke dalam album manifesto. Track ini menurut kami secara referentif dekat dengan gelombang music garage yang datang dan dibesarkan oleh band-band garage asal newyork dan inggris pada awal 2000-an yang memberikan pengaruh yang cukup kuat pada proses penciptaan berkarya kami waktu itu.
‘parallel life, ill see you soon’

07. 120
Dari 10 track dalam album manifesto, 120 adalah satu-satunya track yang belum pernah dimainkan di panggung sebelum acara rilis album ‘manifesto showcase’ pada 12 maret 2009. Sementara 9 track lainnya telah kami mainkan di panggung-panggung terdahulu. Dimainkannya track ini malam itu untuk pertama kalinya, menandai dirilisnya debut album kami ‘manifesto’. Track ini menghimpun banyak hal yang belum pernah kami buat di lagu-lagu sebelumnya. Kami merasa mendapatkan suatu pencapaian baru dalam pembuatan komposisi musik dan penulisan lirik. Ini adalah salah satu track yang paling penting di album ini.
tentang status dan posisi tawarmu di penglihatan orang-orang, jangan harap itu bisa mengesankanku dan menjatuhkanku’

08. RESISTANCE IS FUTILE
Kami dapatkan judul lagu ini dari salah satu judul sequel film Star Trek yang berarti ‘perlawanan sia-sia’. Lirik yang terasa sentimental dan menyoalkan masalah broken trust, mungkin akan memberikan predikat kepada track ini sebagai lagu cinta ala jenny. Lirik track ini adalah ungkapan dan protes-protes kekecewaan terhadap banyak hal yang telah terjadi namun tidak kita inginkan. Namun terkadang kita harus berlapang hati untuk membiarkan semuanya berjalan sebagaimana adanya. Track sepanjang tiga setengah menit ini acapkali kami gunakan sebagai opening track pada panggung-panggung kami. Tempo dan semangatnya hampir tak pernah gagal memanaskan adrenalin kami di atas panggung.
‘Sometimes, some things, can changed, can really changed’

09. LOOK WITH WHO I’M TALKING TO
Lagu ini dihiasi dengan tabuhan drum anis yang sederhana tapi tricky, bass dan guitar line yang saling muncul kemudian bersembunyi lagi berbagi porsi dengan vocal. Lagu yang bagi kami sangat menyenangkan dimainkan secara live diatas panggung yang tidak terlalu tinggi sehingga kami benar-benar dapat berbicara dengan teman-teman yang datang untuk kami tanpa ada batasan harafiah berupa barikade ataupun batasan imajiner antara band di atas panggung yang kami bahasakan dengan kata ‘fire’ dengan penonton dibawah yang kita andaikan dengan kata ‘water’. Status dan atau image bukanlah sesuatu yang kita inginkan dari apa yang kami lakukan di panggung, yang benar-benar kami inginkan adalah berbicara dua arah dan berbagi kebahagian dengan teman-teman lewat karya-karya kami.
‘All I wanna, all I’m gonna, is talking to you’

10. DANCE SONG
Ini adalah track paling klasik dari jenny. Track yang kami tulis pertama kali, sekitar tahun 2004. Pertama kali kita mainkan di panggung-panggung awal kami ketika kami masih tinggal dan belajar di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ketika itu dance song adalah satu-satunya materi jenny dan kami mulai memberanikan diri untuk menyelipkan memainkan lagu ini diantara cover version kami pada nomor-nomor milik ramones, jimi hendrix, the datsuns, roling stones, kings of leon, libertines, strokes, white stripes. Apa yang kami tawarkan di track ini sedikit banyak adalah gambaran dari apa saja yang kami anggap mewakili konsep kami waktu itu yang kemudian kami koreksi dan kami sesuaikan lagi terus , tanpa berhenti, sampai sekarang.
‘Stop thinking too much, now start your steps’

(teks oleh Farid Stevyasta)
-

jenny oleh arom pandayin

Ga banyak mendeskripsikan tentang profilband nya di myspace, disini saya mencoba buat medeskripsikan sendiri tentang jenny menurut kacamata saya..haha..emang si, saya ga punya kaca mata, tapi kamu tau lah maksud kacamata tadi apa..ya, perspektif lah, klo bahasa kuliahnya.. ehhehe

Band yang beranggotakan arjuna bangsawan a.k.a simbah bass / anis setiadji-drum / farid stevy asta-voc / roby setiawan-guitar / + iPonk si om manager , ini menurut saya udah melegenda banged meski saya ga tau sejak taun brapa an mereka memulai band ini. Udah cukup senior lah buat di bilang band. eksis!! Dan mereka memilih rock n rolluntuk menggambarkan musiknya. Ya, musik musik yang enak banged buat di dengerin, ga terlalu scream, tapi juga ga bikin tidur . yah, seperti itu lah rock dan berguling yang di inggriskan menjadi rock n roll..heheheh

Klo kamu suka the strokes, pasti kamu juga suka music-musiknya jenny. Konsepnya bisa di bilang lumayan banyak terinfluence sama the strokes, termasuk kostum manggung dan vclip karya nya, mati muda, termasuk gayanya sang vokalis, ala Julian cassablanca banged !!.heehehe..hat's good , dude..! Dan ini lah band yang asik buat the strokes an bareng di panggung-panggung pas mereka maen. Knapa? soalnya tak akan ketinggalan lagu-lagu the strokes di nyanyikan disitu, walopun mereka juga punya lagu sendiri yang udah cukup banyak + bagus yang katanya bentar lagi mau launching albumnya.hayoo mas mas jenny, cepetan keluarin albumnya..!

Mati muda, salah satu hits yang sudah ada clip nya, yang memberikan pesan moral bahwa hidup jangan di sia siakan gt aja ato lebih baik mati muda daripada hidup berlama-lama dan hanya dosa yang berkuasa.yah, itu pesan moral yang selayaknya kita renungkan, sebagai anak muda yg merasa kebanyakan dosa daripada do’a kyk saya..hehehe.ohh ya, tau film nya vino G. bastian , Radith dan Jani kan? nah, disitu mati muda jadi salah satu soundtrack juga.. Dengerin deh, ada intro mati muda yang over distorsi abeez masuk disana...good god!.tak hanya itu, lagu dance song, yang ngebikin kepala bisa geleng geleng sana sini, monster karaoke yang asik banged lirik + musiknya dan sering di nyanyiin pas mereka manggung, manifesto postmodernisme , 120 ,menangisi akhir pekan, resistance is futile, look with who I’m talking too, mahaoke dll udah cukup banyak lagunya dan bagaimana mereka menulis lirik, sangat cerdas, sangar, idealis, dengan rangkaian kata-kata yang berarti dan bermutu pastinya. cerdas! Satu kata gambaran buat band keren nan sangar ini. Rangkaian music +lirik +cara mereka manggung benar-benar bisa menghipnotis kepala saya dan benar-benar bisa memberikan suntikan energi plus buat terus geleng-geleng sambil nyanyiiin lagu nya

"Play List andalan, bagai ayat2 dalam doa",
salah satu petikan lirik monster karaoke

Dari melihat mereka saat panggung, udah jelas mereka bisa membuat penonton terhibur, maennyaa rapi, semuanya dapet deh. Maksimal dan memuaskan! Terakhir kali dalam taun ini saya ngliat Jenny manggung di Pembukaan Pameran lukisan tunggal nya si Vokalis, Farid Stevy Asta, dkk, di daerah magelang. Sumpah, saya kagum banged ma hasil karya yang mayoritas hasil karya si Farid (vocals) yang juga punya sideproject band garage keren , dengan nama band adalah tempat dimana dia dulunya tinggal, THE WONOSARI, yang dulunya juga se almamater ma saya waktu SMA cuman jaoh bgd selisih lulusnya ..bangga suka desa ya mas, hehehehe..yeah, buat bermusik mereka hebat, dan sebagai seniman muda mereka juga bisa di bilang sukses!!!!S.A.L.U.T.E buat JENNY dan buat klub matimuda, yang juga sering nge crew ma JENNY !!!

(terimakasih Arom Pandayin untuk cerita da semua2nya, thank you very much for making the choice to support us)
-

jenny at sore global tour - liquid cafe jogja 19 feb 09

Jenny's Performance

Setelah cukup lama menunggu, lampu panggung yang sebelumnya mati akkhirnya menyala. Sekelompok anak muda berdiri di atas panggung. Mereka menamakan diri mereka Jenny. Satu hal yg gue ingat dari band yg dihuni oleh Farid Stevy Asta(vokal), Roby Setiawan (gitar), Arjuna Bangsawan(bass), dan Anish Setiadji(drum) adalah, mereka sangat rock n' roll sekali. Sebagai band indie, mereka rupanya cukup bertaji. ini terbukti dari segerombolan muda-mudi yg langsung menyerbu panggung ketika mereka manggung. Sang vokalis yg tampil dgn kostum seperti org yg akan pergi berkabung, lengkap dgn payung hitam, buku mirip kitab warna hitam dan tasbih hitam sukses membuat pengunjung berjingkrak. Sayang gw cuma ingat 2 judul dari single yg mereka mainkan.

Menurut gw, mereka bukan indie biasa, soalnya mereka punya 2 hal yg membuat mereka layak di perhitungkan. yaitu single yg punya daya bunuh dan aksi panggung yang memikat. Aksi panggung mereka unik dan sangat menghibur. mereka sempat mengajak seorang vokalis tamu wanita yg sgt cute, yg bernama dyka, untuk berduet. dan perpaduan ini berhasil menarik perhatian para pengunjung. Karena mereka memadukan Rock n roll dgn Jazz. wow! imagine that!. bahkan vokalis mereka yg selalu memegang rokok, dgn cuek turun dari panggung dan berduet dgn fans mereka sendiri di single andalan mereka, mati muda. gokil!

Overall gw dan cewek gw puas dgn aksi panggung mereka.Oya, selain mati muda, single yang cukup menyita perhatian gw adalah manifesto. dan gw menantikan single2 mereka dlm format album. yah kita doakan saja semoga album mereka bisa segera keluar.

(terimakasih mr. fake waltz (ecko) untuk review dan ceritanya. thank you very much for making the choice to support us)
-

short review

01. Album review (playbook magazine #01)
Album ini sangat dekat dengan new york sound, sentuhan the Strokes terasa sangat kental. Sound vintage dan kasar adalah ciri yang sangat melekat pada setiap instrumen, memunculkan kesan enerjik dan wild, Harmonisasi semua gitar dan bass di setiap riff terasa padu dan matang. Komposisi mereka mengingatkan pada Albert Hammond Jr., Artic Monkeys, Les Savy fav atau forward Russia!. Lirik mereka lebih provokatif, hali itu seharusnya di imbangi dengan bagian-bagia musik yang lebih liar atau semacam ledakan tiba-tiba di bagian tengah atau akhir lagu. Meskipun suara mentah dari setiap instrumen kurang terbalut oleh distorsi yang matang, namun album ini cukup solid dan konsisten

02. Manifesto showcase review 1 (DAB magazine vol 09)
Gelar karya rekaman perdana album jenny tentu amat dinantikan para localholic. JNM yang jadi saksi bisu acara ini dihiasi instalasi berbahan kardus yang cukup menarik. Marina del Ray yang membuka perayaan itu ber-singalong lewat '20th century boy'. Frau, si solo pianis menyusul dengan 'mesin penenun hujan' yang manis. ketika layar memuat visual pembuka, jenny mulai menyapa lewat 'resistance is futile' da lagu itu disambut audience dengan cukup liar. Usai 'manifesto', pentas dikejutkan kudeta panggung tripping junkie yang berkolaborasi dengan farid (voc). ini lebih dari sekedar pagelaran karya, it's our enacment of a new indie cult in town, and the devotees belong to jenny. Hail!!.

03. Manifesto showcase review 2 (oleh: andreas praditya, a note published on facebook)
serangan suara sound mematikan, melody maut dari gitar gibson dan fender strato, moment2 komunikatif yang akrab, lontaran isu, goyang ringan penuh gairah rock, paduan suara mati muda, efek anggur merah, dan kemeriahan tercipta dalam suatu ruang terbuka di pendopo jogja national museum. suatu malam monumental bagi dunia musik indie jogja dan bagi sebuah band bernama 'jenny'. manifesto, sebuah album perdana yang memuaskan hasrat klub mati muda dan para penikmat jenny lainnya.sungguh malam yang menakjubkan dimana perhatian terpusat pada rilis dan perform jenny yang sangat menggugah suasana. hidup memang tak perlu terlalu lama, tetapi karya harus terus ada! semoga manifesto merupakan langkah awal yang mampu membawa nama jenny lebih tinggi lagi!manifesto!

(terimakasih banyak teman-teman untuk review dan ceritanya, thank you very much for making the choice to support us)
-

matimuda oleh Bagus Dwihatmodjo

Ada sebuah band asal Jogja yang sangat digemari oleh hampir seluruh teman-teman saya di kontrakan. Namanya Jenny, nama perempuan lagi, karena saya rasa tidak ada band yang mau menamai diri mereka dengan nama pria. Seperti Hassan atau Sulaiman, dalam satu kata, bukan seperi Maliq & The Essentials. Saya bukan ingin membahas masalah nama band, tapi tentang sebuah lagu yang dimiliki Jenny. Judulnya menarik, Mati Muda. Sekilas saya membayangkan lagu-lagu lelucon milik The Panas Dalam atau Sastromoeni. Tapi yang saya dapati adalah sebuah lagu dengan lirik yang sangat dalam dan raungan melodi mirip lagu-lagu The Strokes. Mari kita lepaskan masalah musikalitas, bahas tentang lirik Mati Muda.

Hidup tak perlu terlalu lama, Jika dosa yang berkuasa...

Jujur, saya benar-benar terpesona dengan kalimat di atas. Buat apa kita berlama-lama hidup bila di sisa hidup itu yang kita lakukan hanya dosa? Banyak orang bilang orang baik selalu pergi cepat, walaupun bukan sebuah patron tetap. Hidup kita kebanyakan tersia-sia dan penuh dengan dosa. eskipun seorang teman mengatakan, "Dosa itu nikmat." Banyak orang-orang besar yang awalnya diagungkan sebagai pahlawan namun kemudian malah menjadi seorang yang dibenci. Menjadi pelajaran yang baik untuk kita, agar selanjutnya mengisi hari-hari kita dengan baik. Buat apa hidup lama kalau isinya dosa semua, lebih baik mati muda. Tapi saya tidak ingin mati muda, saya masih ingin bekerja di depan RSPAD, sebagai menteri luar negeri. Di depan jasad Two Faces Batman berkata kepada Komisaris Gordon, mengutip perkataan Harvey Dent jauh sebelumnya. "You either die a hero or you live long enough to see yourself become the villain."

(teks ini di publish di facebook oleh bagus dwi hatmojo. thank you very much for making the choice to support us)
-